Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia tentunya dihadapkan dengan berbagai isu dan permasalahan yang memerlukan solusi yang tepat dalam mengatasi hal tersebut diantaranya adalah terkait sumber daya manusia. Saat ini isu yang perlu ditangani dengan tepat dan cepat adalah terkait ketenagakerjaan. Bagaimana pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta maupun pihak lain dalam mengatasi jumlah tenaga kerja yang setiap waktunya mengalami peningkatan.
Kebijakan terkait penerapan sistem ketenaga kerjaan menggunakan jasa out sourcing di Indonesia merupakan salah satu upaya alternatif yang tetapkan oleh pemerintah hal ini tertuang pada UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini mengubah sebagian ketentuan yang ada pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Salah satunya terkait ketentuan outsourcing. Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui dua mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
UU Cipta Kerja mengubah istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan terhadap jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing.
(source:https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja-lt60657d8d20b58?page=2).